Arsip Blog

Rabu, 13 April 2011

TULISAN ILMIAH

Tulisan ilmiah
Kegiatan penulisan karya ilmiah di Indonesia meningkat dengan pesat. Majalah umum dan khusus bersifat keilmuan kian banyak. Majalah yang umum misalnya Prisma, yang khusus Medika (kedokteran), Masyarakat Indonesia (ilmu‐ilmu sosial), Ilmu‐ilmu Sastra, Berita Arkeologi, dan lain‐lain. Buku‐buku ilmiah pun kian banyak yang terbit. Semuanya itu menunjukkan kian meningkatnya perhatian terhadap ilmu dan kian meningkatnya kegiatan menulis karya ilmiah. Dalam majalah dan surat kabar pun banyak karangan ilmiah yang dimuat sehingga orang awam pun dapat membacanya (jika mau). Tetapi kalau kita teliti karangan‐karangan dan buku‐buku itu, setidaknya ada dua hal cara menulis yang perlu dicatat, yaitu soal catatan kaki, cara penulisan nama, dan indeks. Dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan catatan tentang ketiga hal tersebut.
Catatan kaki
Catatan kaki atau footnotes sering terdapat dalam karangan‐karangan ilmiah sebagai pertanggungjawaban penulisnya kalau mengutip pendapat orang lain dalam buku atau dalam tulisan yang dimuat dalam majalah atau surat kabar, atau menunjukkan sumber lain, misalnya berdasarkan wawancara, percakapan, dan lain‐lain. Cara menunjukkan catatan itu dahulu biasa dengan memberi tanda pada tempat yang bersangkutan dengan angka Arab atau tanda lain.
Kemudian, keterangan tentang hal yang diberi tanda itu ditaruh pada kaki halaman dengan memberi tanda yang sama. Kalau dengan angka, setiap angka pada catatan kaki merujuk kepada angka pada tempat yang bersangkutan umumnya pada halaman yang sama, walaupun ada juga yang melanjutkan angka‐angka itu untuk setiap bab, bahkan untu seluruh buku. Keterangan catatan kaki biasanya diset dengan korps huruf yang lebih kecil. Orang yang suka menulis catatan kaki berpanjang‐panjang niscaya menimbulkan masalah pada penyusunan layout buku yang bersangkutan.
Pernah ada masanya catatan kaki demikian menjadi mode karena dianggap sebagai ciri bahwa karangan tersebut bersifat ilmiah. Karangan yang tidak memakai catatan kaki dianggap bukan karangan ilmiah. Maka kian banyak catatan kaki yang dibuat, kian dianggap tinggi nilai ilmiah karangan tersebut. Dengan demikian orang menganggapnya sebagi lambang (simbol) keilmiahan, bukan hanya sekadar pembantu bagi pembaca yang ingin mengetahui atau meneliti lebih lanjut.
Tetapi memberikan catatan kaki mempunyai masalah tersendiri. Dengan mesin tik manual, catatan kaki tidak mudah dibuat. Juga kalau karangan itu mau dimuat dalam majalah atau mau dijadikan buku, soal catatan kaki banyak menimbulkan persoalan layout bagi penerbit dan pengarang berhadapan dengan pihak percetakan.
Memberikan catatan pada kaki halaman bukanlah satu‐satunya cara yang biasa dipakai dalam penulisan karya ilmiah. Masih ada cara lain, misalnya yang di Indonesia mula‐mula dikembangkan oleh para sarjana Universitas Indonesia: Keterangan sumber kutipan atau rujukan tidak ditaruh pada kaki halaman dengan memberinya tanda berupa angka atau tanda lainnya, melainkan langsung di antara tanda kurung menyebut nama pengarang dan sumber karangannya. Karena kalau judul buku atau judul karangan, serta majalah atau surat kabar yang memuatnya secara lengkap akan terlalu banyak memakan tempat, maka yang ditulis hanya angka tahun buku itu atau karangan dalam majalah itu terbit dan kadang‐kadang dengan nomor halaman yang menjadi rujukannya, misalnya (Achadiati Ikram, 1997, h. 24) merujuk kepada buku karangan Prof. Dr. Achadiati Ikram yang terbit tahun 1997, h. 24. Judul buku yang dimaksud dicantumkan dalam Daftar Rujukan atau referensi pada akhir karangan, yaitu Achadiati Ikram, Filologi Nusantara, 1997, Jakarta: Pustaka Jaya. Dengan demikian pada akhir tulisan atau buku itu harus dicantumkan Daftar Rujukan (referensi) yang memuat keterangan lengkap tentang nama pengarang, judul karangan, tahun terbit, tempat terbit, dan nama penerbitnya. Karena mungkin saja seorang pengarang dalam satu tahun menulis buku atau karangan lebih dari satu, maka pada angka tahun itu sering diberi tanda a, b, c. Misalnya, angka 1950a, 1950b, 1950c yang maksudnya menunjukkan bahwa pada tahun 1950 orang itu menulis tiga buah karangan yang untuk membedakannya diberi tanda a, b, dan c. Judul buku atau judul karangan, judul majalah atau surat kabar (kalau karangan itu dimuat dalam majalah atau surat kabar), tahun terbit, tempat terbit, dan nama penerbit ketiganya harus dimuat dalam Daftar Rujukan (Referensi).
Cara penulisan catatan rujukan demikian memang lebih praktis karena tidak usah menempatkannya pada kaki halaman karena itu namanya pun tak tepat kalau "catatan kaki". Tetapi dalam karangan yang demikian, pada akhir karangan (atau pada akhir buku) harus dimuatkan Daftar Rujukan yang dimaksud. Artinya, segala sumber yang dirujuk dengan hanya menyebut nama pengarang dan tahun itu harus disebutkan pada Daftar Rujukan pada akhir karangan sehingga para pembaca yang penasaran dapat melacak kepada sumber rujukan. Tanpa adanya Daftar Rujukan pada akhir karangan maka penyebutan namanama di antara tanda kurung itu hanya akan menjadi teka‐teki belaka. Menimbulkan teka‐teki niscaya bukanlah sifat karangan ilmiah.
Pemakaian catatan kaki model kedua ini segera menjadi populer di antara par penulis Indonesia. Bahkan dalam karangan‐karangan yang bukan ilmiah pun, sering kita lihat ada tanda kurung yang disertai dengan nama orang dan tahun, malah nomor yang barangkali merujuk pada halaman sumber, tetapi pada akhir karangan tidak ada Daftar Rujukan atau referensi sama sekali. Maka para pembaca tidak tahu, apa arti nama orang dan tahun yang ditaruh di antara tanda kurung itu, walaupun misalnya nama itu dapat dikenal sebagai nama penulis. Tapi, ke mana mencari rujukan judul karangan yang hanya diindikasikan dengan angka tahun terbitnya saja? Siapa yang hapal akan semua judul karangan seseorang lengkap dengan tahun terbitnya?
Dengan demikian, menaruh nama orang dan angka tahun di antara tanda kurung tanpa disertai dengan Daftar Rujukan atau Referensi pada akhir karangan, hanyalah merupakan gaya penulisan yang sok ilmiah tanpa memahami maksudnya. Cara demikian lebih banyak terdorong oleh kebiasaan ikut‐ikutan tanpa mengetahui sebab atau tujuannya. Sayangnya cara demikian kini telah menjadi gaya yang umum karena para redaktur yang memuatkan karangan itu dalam majalah atau surat kabar yang diasuhnya tampaknya juga tidak tahu latar belakang penggunaan cara begitu. Begitu juga redaktur penerbit yang menerbitkan buku yang memakai cara demikian tapi tanpa menempatkan Daftar Rujukan atau Referensi pada akhir bukunya tampaknya tidak memahami tujuan pemakaian cara itu.
Masih ada cara lain lagi untuk menunjukkan rujukan dalam karangan ilmiah, yaitu perbauran dari kedua cara yang telah disebutkan tadi. Cara itu misalnya dipakai oleh Prof. Dr. Partini Sardjono Pradotokusumo dalam disertasinya Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin Abad Ke‐20: Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks,1986, Bandung: Binacipta). Dalam disertasinya itu, Prof. Dr. Partini memakai catatan kaki, tetapi tidak menyebut judul karangan atau buku yang dirujuknya, melainkan hanya menyebut nama pengarang dan tahun terbit serta nomor halamannya saja. Keterangan lengkap tentang buku yang dirujuk itu terdapat pada "Pustaka Acuan" yang terdapat pada akhir buku. Tetapi Prof. Partini menganggap tidak penting menyebut nama penerbitnya, padahal hal itu penting bukan saja akan mempermudah pembaca yang ingin memiliki buku itu. Selain itu, karena kegiatan dunia penerbitan sekarang sering satu judul buku diterbitkan oleh bermacam penerbit dalam berbagi edisi yang sering pula berada di kota (tempat) yang sama.
Cara penulisan nama
Celakanya pula, cara menulis nama pun sering mengikuti cara orang Barat, yaitu menyebut nama keluarga atau nama akhirnya saja sehingga lebih membingungkan. Cara seperti itu memang dipakai juga oleh sebagian sarjana Indonesia, tetapi ada juga sarjana (antaranya Prof.Dr. A. Teeuw) yang kalau merujuk kepada nama orang Indonesia mengikuti cara pengenalan nama Indonesia, yaitu lebih dahulu menyebut nama diri baru nama kedua karena nama kedua orang Indonesia tidak selalu nama keluarga. Rosidi pada nama saya misalnya bukanlah nama ayah saya. Begitu juga Ekadjati pada Prof.Dr. Edi S. Ekadjati, Sedyawati pada Prof.Dr. Edi Sedyawati, Oemarjati pada Prof. Dr. Boen S. Oemarjati, dan lain‐lain. Banyak orang Indonesia yang hanya memakai satu nama seperti Sukarno, Suharto, Affandi, dan Drs. Buchari.
Bahkan, pada suku bangsa yang mempunyai tadisi nama keluarga (Manado, NTT, Maluku terutama yang memeluk agama Kristen) atau nama marga (Batak), orang lebih biasa merujuk kepada nama diri daripada nama keluarga atau marganya. Misalnya Gerson Poyk lebih dikenal sebagai "Gerson" daripada "Poyk", Mochtar Lubis, lebih dikenal sebagai "Mochtar" daripada "Lubis", serta (Adnan) Buyung Nasution lebih dikenal sebagai "Buyung" daripada "Nasution". Kalau kita membaca nama Nurcholish misalnya kita akan segera teringat kepada Prof.Dr. Nurcholish Madjid, tapi kalau kita membaca nama Madjid, mungkin kita ingat pada Madjid yang lain, atau bertanya‐tanya siapa gerangan yang dimaksud dengan nama itu. Keadaannya menjadi lebih membingungkan lagi karena tidak disertai dengan rujukan silang (cross reference). Sebenarnya baik memakai sistem Barat (dengan merujuk pada nama keluarga), ataupun cara Indonesia (dengan merujuk pada nama diri atau nama pertama) sama saja, asal ada rujukan silang. Jadi kalau memakai sistem Barat, Mochtar Lubis akan ditempatkan pada Lubis (di bawah huruf L), namun di bawah huruf M juga dicantumkan keterangan tentang "Mochtar" dengan menyebutkan agar melihat pada "Lubis" di bawah huruf L. Tetapi kalau tak ada rujukan silang, orang yang akan mencari keterangan tentang seseorang akan menjadi bingung. Orang yang ingin tahu tentang Navis, tidak akan mencari pada A kalau tak ada rujukan bahwa nama lengkap Navis adalah Ali Akbar Navis dan yang mencari keterangan tentang Moeljanto tidak akan mencari pada D, kalau tak ada keterangan rujukan singkatan dari apa gerangan huruf D (dan S) itu.
Indeks
Buku‐buku ilmiah biasanya memuatkan indeks (index) pada halaman‐halaman akhirnya. Indeks ini maksudnya untuk memudahkan pembaca yang hendak memeriksa atau mencari bagian yang membahas tentang orang atau subjek dalam buku tersebut. Karena itu, ada juga buku yang mempunyai dua macam indeks, yaitu indeks nama dan indeks subjek. Karena maksudnya menolong para pembaca, maka indeks sebaiknya lengkap. Tapi di kalangan para ahli terdapat pendapat yang diterima secara unanim bahwa indeks yang terlalu lengkap sehingga memasukkan segala hal yang tidak penting sama tak bermanfaatnya dengan indeks yang tidak lengkap. Karena itu dalam menyusun indeks, orang harus mempertimbangkan penting ataukah tidaknya sesuatu nama atau subjek. Dalam menyusun indeks nama, timbul lagi masalah cara penulisan nama di Indonesia. Namun yang lucu, banyak indeks (bahkan juga susunan nama dalam buku yang disebut "leksikon" pada judulnya) yang disusun persis menurut cara orang yang bersangkutan menulis namanya, termasuk huruf‐huruf inisial yang ditulis di depan namanya sehingga Navis didaftarkan pada A.A. Navis (tanpa keterangan apa kepanjangan A.A. yang terdapat di situ), Moeljanto pada D.S. Moeljanto (juga tanpa keterangan apa arti D.S. itu), Rustandi Karatakusumah pada Mh. Rustandi Kartakusumah (juga tanpa keterangan bahwa Mh. disitu kependekan dari Muhammad ‐ nama yang sering ditambahkan di depan nama lelaki orang Islam). Padahal pembaca tidak selalu ingat inisial seseorang yang ditaruh di depan namanya. Orang ingat pada Navis karena ia tidak pernah mempergunakan nama lengkap Ali Akbar pada karangankarangannya. Karena itu, kalau orang mau mencari sesuatu tentang dia pada suatu buku, niscaya akan mencarinya pada Navis, artinya pada huruf N, dan bukan pada huruf A. Begitu juga kalau orang mau mencari keterangan tentang Moeljanto, akan mencarinya ada huruf M, dan tidak pada huruf D. Rustandi juga akan dicari pada huruf R dan bukan pada huruf M. Dengan kerancuan demikian, maka indeks yang sekarang banyak dimuat dalam buku‐buku ilmiah kita itu menjadi kurang bermanfaat. Hal itu saya kira disebabkan karena para penulisnya tidak menyadari apa sebenarnya maksud indeks dalam sebuah buku. Maksudnya adalah untuk menolong pembaca yang ingin mencari keterangn tentang sesuatu nama atau subjek yang dibahas dalam buku itu dengan mudah dan bukan hanya gaya agar buku itu kelihatan ilmiah.***

Selasa, 12 April 2011

KARANGAN ILMIAH

Menulis Karangan Ilmiah Populer
1. Pendahuluan

Banyak majalah atau surat kabar mempunyai rubrik iptek, yang memuat tulisan-tulisan yang memaparkan aspek khusus iptek dengan menggunakan bahasan umum sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Tulisan seperti itu dinamakan karangan ilmiah populer, yang dikarang oleh penulisnya untuk mengkomunikasikan sejarah, penemuan, perkembangan baru, aplikasi, atau juga isu kontroversi iptek, kepada masyarakat awam agar mereka dapat mengikuti perkembangan iptek tersebut. Tidak seperti halnya artikel jurnal, karangan ilmiah populer dari sudut materi tidak mendalam, namun memberi kejelasan kepada awam tentang fenomena iptek.

Keberadaan karangan ilmiah populer di majalah dan surat kabar di samping menjadi wahana untuk mengkomunikasikan iptek kepada masyarakat awam, juga membawa misi menghibur atau menjadi selingan (entertainment) bagi pembaca majalah atau surat kabar tersebut. Oleh karena misinya seperti itu maka sebuah karangan ilmiah populer harus menarik pembaca majalah dan surat kabar untuk membacanya. Berbeda halnya dengan jurnal ilmiah yang harus dibaca oleh para profesional dalam bidangnya, majalah dan surat kabar harus bersaing merebut hati pembacanya. Dalam kaitan itu karangan ilmiah populer dalam media massa perlu berkontribusi pada pembentukan daya tarik media secara keseluruhan. Bahkan dapat pula justru karangan-karangan ilmiah populer menjadi “selling point” media massa tersebut.

Mengetahui bagaimana menulis karangan ilmiah populer sangat penting bagi ilmuwan yang memposisikan diri sebagai komunikator iptek atau jurnalis iptek, baik sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan tambahan.


2. Karakteristik Karangan Ilmiah Populer

• Apabila pembaca artikel jurnal adalah profesional atau spesialis dalam suatu disiplin ilmu, maka pembaca karangan ilmiah populer adalah masyarakat umum, awam atau profesional dalam bidang lain.

• Apabila penulis artikel jurnal selain memberikan nama, lembaga akademik tempat ia bekerja serta kualifikasi akademiknya, maka penulis karangan ilmiah populer menuliskan nama tanpa informasi lain, kecuali ia adalah repoter.

• Apabila artikel jurnal ditulis dengan gaya tulis faktual dan “dingin” (tak-emosional) demi objektifitas, maka karangan ilmiah populer ditulis dengan gaya informal, anekdot, personal, serta menghibur.

• Apabila artikel jurnal ditulis dengan kalimat yang lebih kompleks dan relatif panjang serta penuh dengan istilah teknis, maka karangan ilmiah populer ditulis dengan kalimat-kalimat singkat dan sederhana serta mudah dibaca.

• Apabila artikel jurnal menyertakan kutipan, catatan kaki (footnotes) dan daftar pustaka agar materi yang ditulis dapat divalidasi, maka karangan ilmiah populer umumnya tidak meyertakan informasi-informasi tersebut.

• Apabila artikel jurnal lebih dipenuhi tulisan verbal dan sedikit tabel, maka karangan ilmiah populer seringkali dilengkapi dengan berbagai ilustrasi, gambar, foto, dll.

• Apabila kebenaran isi artikel jurnal dievaluasi melalui reviu oleh sejawat atau dewan pakar sebagai “referee”, maka pertanggungjawaban isi karangan ilmiah populer cukup diberikan oleh editor majalah.


3. Topik Karangan Ilmiah Populer

Pada dasarnya masyarakatlah yang membiayai (melalui pajak dan pemanfaatan aset bangsa) kegiatan iptek. Oleh karenanya menjadi hak masyarakat untuk memperoleh informasi tentang hal-ihwal mengenai kegiatan iptek itu sendiri. Dengan demikian menjadi kewajiban komunikator iptek (iptekwan & jurnalis iptek) untuk mempublikasikan karangan ilmiah populer melalui majalah dan surat kabar. Melalui karangan ilmiah populer ini informasi tentang iptek yang telah dan akan hadir di masyarakat, baik proses, produk, aplikasi, prospek, maupun isu kontroversi (pro & contra) iptek dapat dikomunikasikan kepada masyarakat umum, untuk menjadi rujukan dalam menyikapi iptek. Dalam kaitan ini topik-topik karangan ilmiah populer hendaknya terkait pada aspek-aspek iptek tersebut.

Oleh karena daya tarik menjadi karakter penting dari karangan ilmiah populer, maka isu-isu mutakhir terkait iptek yang tengah menjadi wanaca publik seringkali menjadi tema sentral karangan ilmiah populer. Sebagai contoh, menyertai konflik Amerika Serikat dengan teroris internasional, senjata kimia, senjata biologis, anthrax, bom, menjadi topik-topik karangan ilmiah populer yang muncul dalam majalah dan surat kabar. Contoh lain adalah topik yang terkait pada meteor mengemuka menjelang turunnya “badai meteor” ke Planet Bumi pada tahun 2001. Demikian juga paparan tentang bahan dan proses pembuatan MSG lebih dari satu bulan muncul dalam berbagai media massa ketika terjadi “kontroversi Ajinomoto” pada tahun 2000.


4. Gaya Penulisan Karangan Ilmiah Populer

• Mulai karangan dengan pendahuluan yang kreatif, yang mampu merangkul atau mencuri perhatian pembaca, serta mendorong pembaca untuk membaca bagian-bagian berikutnya. Lebih kreatif bagian pendahuluan, lebih besar peluang suatu karangan ilmiah populer dibaca tuntas pembacanya. Salah satu kekuatan karangan terletak pada bagian pendahuluan tersebut. Sementara itu bagian-bagian berikutnya perlu memuat kalimat-kalimat utama yang menjadi “point of interest” bagi pembaca. Kalimat-kalimat perlu dirangkai sehingga di samping memberikan kejelasan maknanya dan bekontribusi pada tema atikel, juga menyebabkan pembaca tertarik untuk membaca artikel sampai tuntas.

• Agar mudah dicerna pembaca secara lebih luas, karangan ilmiah populer hendaknya ditulis dengan panjang kalimat dan panjang paragraf yang sesuai pembaca dari berbagai lapisan masyarakat. Sebaiknya kalimat pada artikel ilmiah populer terdiri atas paling banyak 20 kata untuk meningkatkan keterbacaan untuk pembaca pada umumnya.

• Sekalipun penulis artikel ilmiah populer seorang iptekwan, tetapi hendaknya hindari penggunaan terlalu banyak istilah-istilah teknis. Pembaca majalah atau surat kabar tidak mempunyai tingkat pendidikan seperti penulis, hingga jangan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti. Bila suatu istilah tidak tergantikan oleh kata yang kurang teknis, hendaknya definisi perlu diberikan bersama istilah tersebut. Pemahaman terhadap isi artikel akan menyebabkan pembaca menyenangi apa yang dibacanya dan merasa nyaman dengan majalah atau surat kabar pemuatnya secara keseluruhan.

• Gunakan bahasa yang kolokial (informal) untuk mengembangkan “hubungan yang dekat” antara penulis dan pembaca. Buat pula agar pembaca merasa sedang berdialog secara sejajar dengan penulisnya, bukan sedang diajari oleh seorang pakar. Oleh karenanya dianjurkan untuk menggunakan lebih banyak kalimat aktif untuk menciptakan hubungan informal. (Catatan: Laporan ilmiah standar umumnya ditulis dengan kalimat pasif untuk menekankan obyektivitas). Tidak ada salahnya juga menyapa pembaca dengan “Anda” dan menyebut penulis dengan “Saya” agar hubungan antara penulis dan pembaca lebih dekat.

• Tingkatkan dimensi “human interest” dari artikel ilmiah populer yang ditulis, dengan cara memasukkan unsur ceritera, anekdot, dan humor pada artikel. Pada dasarnya manusia lebih tertarik tertarik pada ceritera tentang orang lain daripada obyek lainnya. Oleh karenanya memberikan sentuhan-sentuhan kemanusiaan pada karangan ilmiah populer dapat meningkatkan daya tarik artikel tersebut.

• Gunakan analogi dan metafora untuk memberikan penjelasan tentang sesuatu proses yang kompleks. Sertakan ilustrasi-ilustrasi bergambar (pictorial) untuk memperjelas, selingan, dan juga hiasan, seperti halnya foto (berwarna lebih menguntungkan), diagram, tabel, gambar, atau karikatur. Foto membantu memberikan paparan detail melalui gambar, sedangkan gambar umumnya atraktif bagi pembaca. Berikan deskripsi singkat tentang foto menyertai foto tersebut.

• Tiap paragraf harus terstruktur dengan cara yang sama. Paragraf harus mulai dengan kalimat topik, dan lalu diikuti oleh informasi yang berhubungan dengan topik dalam kalimat topik. Struktur kalimat perlu diperhatikan dalam menulis artikel

• Sistematika penulisan dapat berbagai macam, bergantung pada sifat materi yang dipaparkan. Dapat berupa urutan khronologis peristiwa-peristiwa, atau dapat pula menyajikan permasalahan yang diikuti dengan solusi-solusinya. Apapun pola pengembangan paparan yang dipilih, harus menunjukkan kelogisan paparan, sehingga mereka merasa nyaman ketika membaca artikel tersebut, serta mengerti apa yang dibacanya itu.

• Tutup artikel dengan sebuah rangkuman yang menjadi simpulan dari semua paparan. Penutup merupaan bagian akhir yang dibaca pembaca, yang akan membetuk impresi pembaca terhadap penjelasan atau persoalan yang diketengahkan. Penutup merupakan juga titik kekuatan artikel, sehingga perlu ditulis secara hati-hati.



Referensi

Deeker, W. Popularizing Scientific and technical Subjects in Writing. [Online.] Tersedia: http://www.crss.csrio.au/staff/wayne.html [7 November 2001].

Notes on Writing Articles for Popular Audiences. [Online.] Tersedia: http://www.abdn.ac.uk/physics/guide/article.html/ [7 November 2001].

Popular Magazine or Scholarly Journal, How to Distinguish. [Online.] Tersedia: http://www.mc.cc.md.us/library/jourmag.htm [7 November 2001].

Minggu, 10 April 2011

SILOGISME KATEGORIAL

Silogisme Kategorial
Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Silogisme terdiri dari; Silogisme Katagorik, Silogisme Hipotetik dan Silogisme Disyungtif.

a. Silogisme Katagorial.

Silogisme Katagorial adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term). Contoh : Semua tumbuhan membutuhkan air (premis mayor). Akasia adalah tumbuhan (premis minor). Akasia membutuhkan air (Konklusi)

Hukum-hukum Silogisme Katagorial.

Apabila salah satu premis bersifat partikular, maka kesimpulan harus partikular juga. Contoh; Semua yang halal dimakan menyehatkan (mayor). Sebagian makanan tidak menyehatkan (minor). Maka; Sebagian makanan tidak halal dimakan (konklusi).

Apabila salah satu premis bersifat negatif, maka kesimpulannya harus negatif juga. Contoh; Semua korusi tidak disenangi (mayor). Sebagian pejabat korusi (minor). Maka; Sebagian pejabat tidak disenangi (konklusi).

Apabila kedua premis bersifat partikular, maka tidak sah diambil kesimpulan. Contoh; Beberapa politikus tidak jujur (premis 1). Bambang adalah politikus (premis 2). Kedua premis tersebut tidak bisa disimpulkan. Jika dibuat kesimpulan, maka kesimpulannya hanya bersifat kemungkinan (bukan kepastian). Bambang mungkin tidak jujur (konklusi).

Apabila kedua premis bersifat negatif, maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Hal ini dikarenakan tidak ada mata rantai yang menhhubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpul dapat diambil jika salah satu premisnya positif. Contoh; kerbau bukan bunga mawar (premis 1). Kucing bukan bunga mawar (premis 2). Kesimpulannya? Tidak ada.

Apabila term penengah dari suatu premis tidak tentu, maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Contoh; semua ikan berdarah dingin. Binatang ini berdarah dingin. Maka, binatang ini adalah ikan? Mungkin saja binatang melata.

Term-predikat dalam kesimpulan harus konsisten dengan term redikat yang ada pada premisnya. Apabila tidak konsisten, maka kesimpulannya akan salah. Contoh; kerbau adalah binatang (premis 1). Kambing bukan kerbau (premis 2). Maka; kambing bukan binatang ? Binatang pada konklusi merupakan term negatif sedangkan pada premis 1 bersifat positif

Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis mayor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna ganda kesimpulan menjadi lain.contoh; Bulan itu bersinar di langit (mayor). Januari adalah bulan (minor). Maka; januari bersinar dilangit?

Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, predikat, dan term, tidak bisa diturunkan konklsinya. Contoh; kucing adalah binatang (premis1). Domba adalah binatang (premis 2). Beringin adalah tumbuahan (premis3). Sawo adalah tumbuhan (premis4). Konklusinya?

b. Silogisme Hipotetik

Silogisme Hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik. Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:

Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian antecedent. contoh; jika hujan saya naik becak (mayor). Sekarang hujan (minor). Maka saya naik becak (konklusi).

Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian konsekuennya. Contoh Jika hujan, bumi akan basah (mayor). Sekarang bumi telah basah (minor). Maka hujan telah turun (konklusi)

Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedent. contoh; Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul. Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa. Maka kegelisahan tidak akan timbul.

Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya. contoh:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah. Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.

Hukum-hukum Silogisme Hipotetik

Mengambil konklusi dari silogisme hipotetik jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini dalah menentukan kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.

Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, maka hukum silogisme hipotetik adalah:

1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.

c. Silogisme Disyungtif

Silogisme Disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya merupakan keputusan disyungtif sedangkan premis minornya bersifat kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor. Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang semestinya.

Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif. Contoh; Heri jujur atau berbohong (premis1). Ternyata Heri berbohong (premis2). Maka ia tidak jujur (konklusi).

Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayotnya mempunyai alternatif bukan kontradiktif. Contoh; Hasan di rumah atau di pasar (premis1). Ternyata tidak di rumah(premis2). Jadi hasan di pasar (konklusi).

Hukum-hukum Silogisme Disyungtif

Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid. Contoh; Hasan berbaju putih atau tidak putih. Ternyata Hasan berbaju putih. Maka hasan bukan tidak berbaju putih.

Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran konklusinya adalah sebagai berikut:

Bila premis minor mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya sah (benar). Contoh: Budi menjadi guru atau pelaut. Budi adalah guru. Maka Budi bukan pelaut.

Bila premis minor mengingkari salah satu alternative, maka konklusinya tidak sah (salah). contoh: Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogya. Ternyata tidak lari ke Yogya. Maka dia lari ke Solo? Konklusi yang salah karena bisa jadi dia lari ke kota lain.

PENALARAN DEDUKTIF-INDUKTIF

Penalaran (reasoning)
Penalaran adalah bentuk tertinggi dari pemikiran,dan sebab itu lebih sulit disbanding pengertian dan proposisi. Secara sederhana penalaran dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan kesimpulan berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya.
Contoh:
Logam 1 dipanasi dan memuai
Logam 2 dipanasi dan memuai
Logam 3 dipanasi dan memuai
Logam 4 dipanasi dan memuai
Logam 5 dipanasi dan memuai
Dan seterusnya
Jadi : semua logam yang dipanasi memuai
Konklusi dan premis
Dari contoh diatas,dapat dikatakan bahwa penalaran ialah gerak pemikikiran dari proposisi 1 dan seterusnya,hingga proposisi terakhir(=kesimpulan). Jadi penalaran suatu proses pikiran. Sebuah penalaran terdiri atas:premis dan kesimpulan. Premis mayor dan premis minor.
Penalaran deduktif dan induktif
Biasanya dibadakan menjadi dua maccam penalaran, konklusi lebih sempit dari premis. Pada penalaran induktif, konklusi lebih luas dari premis.
Contoh penalaran deduktif:
Semua manusia akan mati (premis mayor)
Bambang adalah manusia (premis minor)
Jadi: bambang akan mati (konklusi)
Contoh penalaran induktif
Logam 1 memuai kalau dipanaskan (mayor mayor)
Logam 2 memuai kalau dipanaskan (premis minor)
Semua logam memuai kalau dipanaskan (konklusi)

Hukum-hukum penalaran
Perlu dipahami bahwa”yang benar” tidak tidak sama dengan yang logis. Yang benar benar adalah suatu proposisi. Sebuah proposisi itu benar kalau ada kesesuaian antara subyek dan predikat. Yang logis adalah penalaran. Suatu penalaran dikatakan logis kalau mempunyai bentuk yang tepat, da sebab itu penalaran itu sahih. Maka hubungan kebenaran antara premis dan konklusi dapat dirumuskan dalam hukum-hukum penalaran sebagai berikut:
1. Apabila premis benar,konklusi benar
Contoh:
Semua manusia akan mati
Ali adalah manusia
Jadi: Ali akan mati
Disini premis mayor dan minor benar.oleh karena itu konklusinya juga benar.
2. Konklusi salah ,premis juga salah
Contoh:
Semua manusia akan mati
Malaikat adalah manusia
Jadi : Malaikat akan mati
Disini konklusinya salah,sebab itu premis atau kedua-duanyanya juga salah
3. Apabila premis salah ,konklusi dapat benar atau salah
Contoh:
Malaikat itu benda fisik
Batu itu malaikat
Jadi: batu itu benda fisik
Disini kedua preminya salah ,tetapi konklusinya benar
4. Apbila konklusi benar,premis dapat benar dapat pula salah
Contoh : lihat contoh konklusi benar ,premis benar
Lihat contoh pada hukum poertama

KESESATAN (fallacy)
Tugas logika adalah menyiapkan sarana untuk melakukann penalaran yang sahih dan benar. Dalam kenyataan, baik dalam kehidupan akademis maupun pergaulan sehari-hari, sering sekali terjadi penalaran yang tidak sahih. Penalaran yang tidah sahih maupun tidak tepat itulah yang dinamakan penalaran yang sesat.atau disingkat dengan kesesatan atau fallacy.
Perlu dibedakan antara paralogis dan sofisme .paralogis adalah kesesatan yang tidak disadari (tidak disengaja),dan terjadi karena pembicara kurang memahami hukum-hukum penalaran atau keterbatasan lainya. Disini orang mengemukakan penalaran yang sesat tapi dia tidak menyadari.sebaliknya ,orang yang dengan sengaja melakukan kesesatan dengan tujuan tertentu itu dianamakan sofis. Seorang sofis memiliki dasar-dasar logika dan argumentasi yang kuat dan oleh sebab itu bisa menjebak lawan bicara dengan mudah. Jadi, dengan sengaja mengemukakan panalaran sesat untuk kepentinganya sendiri.
Kesesatan dapat terjadi karena bahasa(semantik) dan relevansi antara premis dan konklusi. Berikut penjelasan tenteng kedua macam kesesatan tersebut .
Kesesatan karena bahasa (semantik)
Kesesatan ini dibedakan oleh ambiguitas arti kata yang dugunakan(homonym). Atau juga karena kesalahan kalimat yang digunakan perpeluang untuk ditafsirkan berbeda-beda.
Kesesatan karena term ekuivok
Kata yang digunakan mempunyai arti lebih dari satu, sehingga penafsifsiranya juga berbeda.
Contoh :
Malang itu kota yang indah
Orang miskin bernasib malang
Jadi: Orang miskin bernasib indah
Bulan bersinar dilangit
Bulan itu 30 hari
Jadi: 30 hari bersinar di langit
Kesesatan amfiboli
Kesesatan ini terjadi karena struktur kalimat dibuat sedemikian sehingga dapat ditafsirkan ganda.
Contoh:
(dari iklan media masa)”Dijual segera: kursi tinggi untuk bayi dengan kaki patah
Tanggal 17 agustus 1998 dirayakan HUT proklamasi kemerdekaan RI ke 63
Kesesatan komposisi
Kesesatan ini terjadi karena pencampuran term yang bersifat kolektif dan distributive
Contoh:
”Sebuah sekolah terdiiri dari bangunan tempat belajar, laboratorium. Dan sebuah ruangan umtuk olahraga yang mempunyai luas 800 meter persegi.
Kata “ luas” bisa diterapkan untuk seluruh sekolahan itu seluruhnya 800 m2 atau setiap bagian luasnya 800 meter persegi sehingga luasnya 2400 m2.
Kesesatan dalam pembagian
Kesesatan ini terjadi karena anggapan bahwa apa yang benar bagi keseluruhan, berlaku bagi individu. Jadi, ini terbalik dari kesesatan komposisi.
Contoh:
Semua gadis Bali panda menari
Ni made swasti adalah gadis Bali
Jadi: Ni made swasti pandai menari

Semua orang jawa ramah tamah
Mas Gunawan orang jawa
Jadi: Mas Gunawan ramah tamah

Semua mahasiswa Gunadarma proreformasi
Yuli adalan mahasiswa Gunadarma
Jadi: Yuli proreformasi
Kesesatan aksentuasi
Kesesatan terjadi karena aksen bicarara.aksen berbeda menyebabkan perbedaan penafsiran pula.
Contoh:
Sesama teman harus saling menolong
Di sini,ada dua kemungkinan penafsiran apapun yang terjadi seorang teman harus
Ditolong(termasuk mengerjakan ujian,menyembunyikannya dari kejaran polisi),atau
yang ditolong hanya teman.yang bukan teman tidak harus ditolong.
5.2.kesesatan karena relevansi
Kesesatan ini terjadi karena orang menurunkan konklusi yang tidak punya relevansi
Dengan premis. Jadi,tidak ada hubungan logis antara konklusi dan premis. berikut
Beberapa jenis kesesatan relevansi yang paling umum dikenal.
5.2.1 Argumentum ad hominem
Kata bahasa latin ini berrti arguamen yang di tujukan kepada orangnya.kesesatan terjadi
Karena orang menerima atau menolak suatu argumentasi bukan karena alasan logis,tetapi
Pamrih orang yang berbicara atau lawan bicaranya.
Contoh:
Disebuah sidang pengadilan jaksa penuntut umum tidak memberikan bukti-bukti secukupnya tentang kesalahan terdakwa, dtapi membeberkan sejarah hidup terdakwa yang penuh dengan kebijakan. Dengan demikian diharapkan akan mempengaruhi keputusan hakim.
Disebuah sidak terdakwa tidak mengemukakan argument logis tentang kejahatan yang ditiduhkan kepadanya ,tetapi mengatakan bahwa penderitaan yang ditimpakan hakim kepadanya akan berbalik menimpa hakim dan keluarganya.
Argumentum of verecundian
Kesesatan ini disebut juga kesesatan actuoriis. Kesesatan terjadi bukan karena penalaran logis ,tetapi orang yang mengemukakanya adalah orang yang berwibawa dan dapat dipercaya(misal: karena kepakaranya). Ini bermakna sama dengan peribahasa bahasa latin:tantum valet actuoritis, quantum velet argumentio(nilai argumentasi tergantung dari nilai wibawa).
Argumentum ad baculum
Dalam bahasa latin berarti tongkat pemukul. Kesesatan ini terjadi bila orang menolak atau menerima suat argument bukan atas dasar penalaran logis,melainkan karena ancaman atau terror. Jadi orang menerima sesuatu karena takut.
Argumentum ad misericordiam
Argument ini dimaksudkan untuk menggugah belas kasihan.
Argumentum ad papulum
Artinya “yang ditujukan kepada rakyat”. Yang penting disini bukan pembuktian rasional melainkan pernyataan yang membangkitkan emosi massa. Biasanya digunakan oleh para juru kampannnnye polotik,demogogi,atau kegiatan propaganda.
Post hoc propter hoc
Nama lainya adalah non cause pro cause. Kesesatan terjad karena orang mengangagap sesuatu sebagai sebab,padahal bukan. Pasa suatu urutan peristiwa,orang menunjuk apa yang ter jadi lebih dulu sebagai penyebab peristiwa yang ter jasi sesudahnya,padahal bukan.
Contoh
Matahari terbit sesudah ayam berkokok
Pertitio principi (beginning the question)
Terjadi karena orang tidak membuktikan sesuatu yang harus dibuktikan.
Contoh
Seorang guru bertanya kepada muridnya, mengapa lampu diruangan tiba-tiba mati. Dan siswa menjawab karena lampu tidak menyala.