Etika Bisnis, Sebuah Fatamorgana?
Penerapan tata pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) yang merupakan sendi dari etika bisnis memang masih jauh dari harapan. Jika sejenak kita berkaca diri maka kita menemukan bahwa masih carut-marutnya kondisi perkonomian nasional saat ini dan krisis multi dimensional yang menerpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 tidak saja disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi semata.
Pola tingkah laku amoral para pelaku ekonomi ternyata menjadi faktor utama keterpurukan kondisi ekonomi negeri ini. Pelanggaran etika bisnis terjadi di banyak perusahaan baik swasta maupun pemerintah. Untuk meraih keuntungan, tidak sedikit perusahaan yang menghalalkan berbagai cara dan tak segan melanggar moral dan etika.
Mereka seakan memegang teguh prinsip yang dilantunkan oleh Jonas Chuzzewit yang pernah dikumandangkan oleh Novelis Inggris, Charles Dickens (1812 –1870). Here’s the rule for bargains : ’Do other men, for they would do you’. That’s the rule business precept. (Inilah kaidah tawar menawar: ’Tipulah orang lain, karena mereka juga akan menipumu’. Itulah aturan bisnis yang sejati.).
Praktik tipu menipu ini tumbuh subur di hampir semua perusahaan. Praktik yang lebih dikenal dengan sebutan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bukan hanya merugikan perusahaan lain sebagai mitra bisnis, melainkan juga masyarakat dan negara. Kerugian negara akibat menjamurnya praktik KKN sudah tak terhitung lagi besarnya. Hadirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan wujud nyata dari kecemasan akan terus menjalarnya praktik terkutuk ini.
Degradasi moral dan etika bisnis yang mendapat persemaian yang subur di era Orde Baru semakin mempertegas eksistensinya di bumi seribu pulau ini. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena pemerintah seakan tutup mata, bahkan dalam beberapa kasus pemerintah juga ‘bermain mata’ dengan sejumlah pejabat dan pelaku bisnis di negeri ini. Alhasil, kesadaran moral berbisnis justru semakin hari terasa semakin terpuruk.
Lemahnya sistim penegakan hukum (low enforcement) sebagai cerminan dari kebijakan pemerintah yang masih setengah hati dalam membangun kredibilitas hukum nasional menjadi mata rantai sulitnya menghapus berbagai tindakan amoral (kejahatan secara khusus kerah putih) di lingkungan bisnis maupun dalam kehidupan sosial lainnya. Akibatnya, Good Corporate Governance yang dicanangkan pemerintah dan didamba-dambakan oleh dunia internasional hanya sebagai slogan belaka dan sekadar cita-cita.
Upaya rekayasa informasi kepada publik sudah menjadi tradisi yang ‘sah’. Sumpah dan janji profesi sejumlah perusahaan jasa hanya sebagai slogan di bibir tanpa menggugah kebenaran hakiki dalam lubuk hati. Standar profesi lebih sering diletakkan di laci meja jika ‘si money’ sudah ada di atas meja. Yang terjadi tidak lain konspirasi dan konspirasi…. Karena itu, tak heran di hampir semua perusahaan ada sistem pembukuan berlapis. Dimanakah keterbukaan informasi (disclousure) yang didamba-dambakan itu? Kepada siapa kita harus mengadu?
Menyaksikan sejumlah fenomena ini, apakah kita harus berdiam diri? Tidakkah kita terketuk nurani untuk memperbaiki keadaan yang kian terpuruk ini? Berbanggakah kita menyaksikan kondisi bangsa dan negara yang semakin jauh dari peradaban ini? Siapakah yang harus mengubah sikap dan pola perilaku para pebisnis nakal ini? Sampai kapan kita harus menunggunya? Mujisatkah yang akan mengubah bumi pertiwi ini menjadi negara yang beretika dan bermoral?
Jika kita tidak mau terkucil dari pergaulan dunia bisnis internasional lantaran rendahnya moral dan etika bisnis kita, maka jangan tunggu sampai besok. Kinilah saatnya kita mulai berubah diri. Dorongan mantan Menkeu Sri Mulyani mungkin menjadi stimulus bagi semua pelaku bisnis untuk lebih sungguh-sungguh menerapkan prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance yakni Fairness, Transparency, Accountability dan Responsibility.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar